Pengaruh Jenis
Kultur Starter Terhadap Mutu Organoleptik Tempe Kedelai
oleh Yogi Karsono (F24060109), Abdi Tunggal C.S. (F24060460), Arius
Wiratama (F24060269), Paramita Adimulyo (F24070055)
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor
Abstrak
Tempe merupakan
makanan tradisional asli Indonesia yang kaya manfaat diantaranya sebagai
antioksidan dan makanan kaya protein. Proses produksi tempe yang selama ini
masih diterapkan di Indonesia umumnya menggunakan kultur starter yang diperoleh
dari pasar yang biasa disebut laru. Komposisi dan kemurnian dari laru pasar ini
tidak konsisten sehingga tempe yang dihasilkan pun kualitas organoleptiknya
beragam. Hal ini akan sangat menghambat usaha komersialisasi tempe karena
industri pada umumnya menghendaki produk yang kualitasnya stabil dan seragam.
Kegiatan ini mencoba mengidentifikasi pengaruh penggunaan kultur starter yang
berbeda terhadap kualitas organoleptik rasa, warna, tekstur, dan aroma tempe
yang dihasilkan. Kegiatan menggunakan 3 jenis kultur starter murni yaitu R. oligosporus,
R. oryzae, dan Mucor sp. yang kemudian dibandingkan dengan kultur
starter laru pasar. Metode yang digunakan adalah metode tradisional yaitu
dengan menguji masing-masing kultur starter dalam produksi tempe. Hasil
percobaan menunjukkan keempat kultur starter menghasilkan tempe yang kualitas
organoleptiknya baik. Tempe yang diproduksi dengan menggunakan kultur starter Mucor
sp. menghasilkan tempe yang aroma dan rasanya paling disukai panelis. Tempe
yang menggunakan kultur starter R. oligosporus menghasilkan tempe dengan
struktur yang lebih kompak dibanding tempe yang menggunakan ketiga kultur starter lain.
Kata kunci: tempe, kapang,
kultur starter, mutu organoleptik, kedelai
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe merupakan makanan asli Indonesia yang dibuat dari
fermentasi kedelai. Fermentasi kedelai berlangsung selama 20-24 jam pada suhu
30°C dengan bantuan mikroorganisme tertentu dari golongan kapang terutama Rhizopus
oligosporus. Kedelai akan diliputi oleh struktur menyerupai benang halus/biomassa
kapang berwarna putih, disebut miselium, yang mengikat kedelai menjadi struktur
yang kompak. Biomassa kapang ini berperan penting dalam pembentukan tekstur tempe.
Aroma tempe terbentuk dari metabolit yang dihasilkan kapang selama proses
fermentasi. Kapang menghasilkan enzim protease dan lipase yang memecah protein
dan lemak kedelai menjadi komponen yang lebih kecil sehingga komponen ini
bersifat volatil (mudah menguap). Oleh karena itu, tekstur dan aroma tempe
sangat dipengaruhi oleh pembentukan miselium dan aktivitas enzim yang
dihasilkan oleh kapang. Dengan kata lain, jenis kapang yang digunakan akan
berpengaruh pada mutu organoleptik aroma, rasa, dan tekstur tempe yang
dihasilkan.
Tempe memperoleh tempat tersendiri di jajaran kuliner
Indonesia dan luar negeri seperti di Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, dan
Kanada karena rasanya yang enak, murah, dan bergizi tinggi. Daya cerna protein
tempe lebih tinggi dari kedelai biasa karena protein tempe telah dipecah oleh
mikroorganisme, dalam hal ini kapang, menjadi asam amino yang lebih mudah
diserap tubuh. Kadar lemak tempe yang rendah menjadikan tempe sumber protein
yang baik dikonsumsi penderita penyakit jantung dibandingkan dengan daging yang
kaya akan lemak. Di Amerika Serikat tempe terutama digunakan sebagai daging
tiruan di kalangan vegetarian karena kaya akan zat gizi dan tempe merupakan
salah satu bahan pangan nabati yang mengandung vitamin B12. Vitamin B12 merupakan vitamin yang jarang
ditemukan pada bahan pangan nabati. Menurut USDA 100 gram tempe mengandung
vitamin B12 sebanyak 6% dari angka kecukupan gizi laki-laki dewasa. Peningkatan
kandungan vitamin tempe ini diikuti pula oleh penurunan kandungan beberapa komponen
antinutrisi yang umumnya terdapat dalam kacang kedelai. Komponen antinutrisi
ini akan mempengaruhi penyerapan zat gizi kedelai melalui pembentukan ikatan antara
komponen antinutrisi dengan zat gizi (tripsin inhibitor), mengurangi kualitas
protein (tannin), mengurangi penyerapan mineral (asam fitat), menyebabkan darah
membentuk gumpalan (hemaglutinin), atau menyebabkan gangguan metabolisme
(goitrogenik). Pengurangan komponen antinutrisi ini terutama terjadi saat
proses perendaman kedelai sebelum inokulasi starter (Hutkins, 2006). Pada Tabel
1 dapat dilihat bahwa kadar protein tempe lebih rendah dari kedelai karena
aktivitas enzim yang merombak protein menjadi asam amino yang lebih mudah
dicerna. Selain itu kadar lemak tempe juga berkurang karena lemak dirombak
enzim menjadi komponen yang berukuran lebih kecil.
Tabel 1. Komposisi kedelai dan tempe
Constituent
|
Soybeans1 (g/100 g)
|
Tempeh2 (g/100 g)
|
Moisture
|
7 – 9
|
60 - 65
|
Protein
|
30 - 40
|
18 - 20
|
Soluble Nitrogen
|
< 1
|
2 – 4
|
Carbohydrate
|
28 – 32
|
10 – 14
|
Fiber
|
4 – 6
|
1 – 2
|
Fat
|
18 - 22
|
4 – 12
|
pH
|
6 – 7
|
6 – 7
|
1
Whole
raw soybeans (prior to soaking)
2
Fresh
(wet) weight basis
Sumber: Hutkins,
2006.
Tempe yang selama ini
beredar di pasaran masih dibuat melalui proses fermentasi dengan menggunakan bibit
atau starter yang dapat diperoleh di pasar. Kultur (biakan) starter atau biasa
disebut laru ini dibuat secara tradisional sehingga kemurnian dan komposisi
kultur yang dihasilkan tidak konsisten dan tempe yang dihasilkan pun memiliki mutu
organoleptik yang tidak seragam. Kurang konsistennya kultur ini akan sangat
menghambat komersialisasi tempe karena produk
yang diproduksi pada skala komersial/skala besar diharapkan memiliki mutu
organoleptik terutama rasa, aroma, dan penampakan tempe yang konsisten dan seragam.
Konsumsi
tempe nasional
sangat tinggi karena konsumsi kedelai per kapita mencapai 8,1 kg kedelai/kapita/tahun
pada tahun 2005. Dari jumlah tersebut 80% kedelai nasional digunakan sebagai
bahan baku pembuatan tempe dan tahu (Deptan, 2009). Hal ini
menunjukkan bahwa tempe sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia.
Sehingga upaya untuk menghasilkan tempe yang
konsisten rasa, aroma, dan penampakannya akan sangat potensial untuk membuka
peluang usaha produksi tempe
skala besar. Tempe juga sangat potensial
dikembangkan sebagai komoditi ekspor Indonesia
karena manfaat tempe
sebagai bahan pangan kaya protein dan antioksidan telah diketahui secara luas
oleh masyarakat internasional. Tetapi upaya produksi komersial tempe
ini tentu saja harus diawali dengan usaha untuk memuliakan kultur starter yang
digunakan dalam proses produksi tempe karena
jenis kultur starter akan sangat mempengaruhi kualitas mutu sensori
dari tempe yang
dihasilkan.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang menjadi
fokus tulisan ini adalah masih belum teridentifikasinya pengaruh jenis
mikroorganisme yang digunakan sebagai kultur starter tempe
terhadap karakter sensori rasa, aroma, dan penampakan tempe yang dihasilkan pada proses fermentasi.
TUJUAN
Penulisan
karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan perspektif mengenai pengaruh jenis
kultur starter yang digunakan dalam pembuatan tempe
terhadap karakter sensori rasa, aroma, dan penampakan tempe yang dihasilkan.
MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dari
penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Teridentifikasinya
jenis kapang yang dapat digunakan untuk membuat tempe
beserta karakteristik mutu organoleptik dari masing-masing tempe yang dihasilkan.
2.
Sebagai langkah
awal untuk usaha pemuliaan kultur starter tempe sehingga ke depan dapat
dihasilkan kultur starter tempe yang unggul.
3.
Merangsang usaha
komersialisasi tempe melalui usaha identifikasi kultur starter tempe sehingga
tempe yang dihasilkan mempunyai mutu organoleptik yang konsisten.
4.
Meningkatkan minat
untuk meneliti tempe terutama dari segi pemuliaan kultur starter.
METODE
Metode yang akan digunakan disebut sebagai metode tradisional
yaitu menumbuhkan starter kapang (inokulum) pada
kedelai yang telah melalui tahapan persiapan untuk membuat tempe dan kemudian diamati mutu organoleptik tempe yang dihasilkan. Metode ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan
kultur starter, tahap produksi tempe, dan tahap pengamatan pertumbuhan kultur.
Alat dan Bahan
Alat : - cawan petri
-
oven
-
mortar
-
kompor
-
panci
-
ember plastik
-
loyang
-
kemasan/kantong
plastik
-
pisau
-
nyiru
-
sendok makan
-
pengaduk
Bahan : - kedelai
-
laru pasar
-
biakan murni (R.
oligosporus, Mucor
sp., dan R. Oryzae)
-
nasi
Waktu dan Tempat
Waktu : 16 Desember 2008
Tempat : Laboratorium
Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor
Persiapan Kultur Starter
Kultur murni yang akan digunakan dalam kegiatan adalah kultur
murni R. oligosporus, Mucor sp., dan R. oryzae yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dan
sebagai pembanding digunakan laru pasar yang
mengandung kultur R. Oligosporus yang diperoleh dari Pasar Anyar Bogor. Laru pasar merupakan biakan yang biasa digunakan pengrajin tempe untuk
memproduksi tempe yang selama ini beredar di pasaran. Biakan sebelumnya telah
ditumbuhkan pada nasi di cawan petri secara steril selama 3-4 hari kemudian dikeringkan
di oven sampai kering dan dihaluskan dengan cara
digerus dengan mortar.
Produksi Tempe
Pengujian aktivitas dari laru dilakukan melalui uji
pembuatan tempe dengan menggunakan kultur starter kapang
yang akan diuji. Untuk membuat produk tempe, digunakan kedelai yang dibeli dari Pasar Darmaga Bogor kemudian
direbus dan direndam semalam sampai terbentuk buih. Tujuan perendaman adalah melarutkan
oligosakarida (gula majemuk) kedelai yang terutama terdiri dari stakiosa dan
rafinosa sehingga bakteri asam laktat dapat memfermentasi gula tersebut menjadi
asam organik. Asam organik ini akan menciptakan kedelai dengan pH asam sehingga
pertumbuhan mikroorganisme pengganggu fermentasi yang tidak dikehendaki dapat dicegah.
Kedelai yang telah direndam tersebut kemudian dikupas kulit arinya, dicuci dengan
air bersih dan selanjutnya dikukus atau direbus. Kedelai kemudian didinginkan
dan ditiriskan.
Kedelai dibagi menjadi 4 bagian dan diletakkan di wadah
yang bersih. Masing-masing biakan mikroorganisme atau laru yang sudah dihaluskan
ditambahkan ke kedelai dengan dosis 5 gr/kg kedelai, dicampur rata lalu dikemas
dalam kantong plastik (ketebalan 1,5-2,5 cm). Kantong plastik sebelumnya sudah
dilubangi kecil-kecil tiap 2 cm sehingga O2 dapat bersirkulasi ke
dalam media. Lubang pada kantung plastik dijaga agar tidak terlalu banyak dan
tidak terlalu sedikit. Terlalu banyak lubang mengakibatkan terlalu banyak O2
yang bersirkulasi ke dalam media dan menyebabkan biakan cepat membentuk spora
yang berwarna hitam (tempe jadi busuk). Lubang yang terlalu sedikit akan
menyebabkan O2 yang bersirkulasi dalam media kurang sehingga
pertumbuhan biakan terhambat. Pemeraman kedelai dilakukan selama 24-48 jam pada suhu
ruang.
Pengamatan
Pertumbuhan Kultur
Kedelai yang telah
mengalami proses fermentasi selama 2 hari kemudian diamati secaraf obyektif
berdasarkan tingkat pertumbuhan miselium, warna miselium dan aroma tempe yang dihasilkan dan kemudian dibandingkan dengan tempe yang dibuat dengan
kultur dari laru pasar. Kultur starter tempe yang dipilih
hendaknya menghasilkan produk tempe yang kompak
dengan aroma khas tempe yang kuat, dan rasa tempe yang khas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan dilakukan untuk melihat pengaruh
jenis kultur terhadap mutu organoleptik tempe kedelai. Pengaruh yang diamati berupa kekompakan dan warna miselium serta aroma
tempe dan rasa. Data hasil dari pengamatan terhadap pertumbuhan kultur
disajikan dalam Tabel 2.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa kekompakan dari tempe yang
dihasilkan sangat dipengaruhi oleh karakter pertumbuhan dari kultur dan kondisi
optimal dari pertumbuhan kultur. Kapang R. oligosporus dan R. oryzae mempunyai sifat pertumbuhan yang sama
sehingga kekompakan tempe yang dihasilkan seharusnya sama. Tetapi dalam
kegiatan ini tempe yang dibuat dengan kapang R. oryzae teksturnya kurang
kompak. Faktor yang diduga berpengaruh pada pertumbuhan miselium kapang
tersebut adalah pada pengaturan aerasi yang berhubungan dengan jumlah lubang
pada kantung plastik. Sementara Mucor sp. memiliki miselium yang pendek
sehingga tempe yang dihasilkan bersifat kurang kompak dibanding tempe dari
kapang lain.
Tabel 2.
Pengaruh jenis kultur terhadap mutu organoleptik tempe kedelai
No.
|
Jenis kultur
|
Kekompakan dan Warna Miselium
|
Aroma Tempe dan Rasa
|
1
|
R.oligosporus
|
Sangat kompak; warna putih
|
Bau khas tempe (+++)
|
2
|
Mucor sp.
|
Miselium pendek; kurang kompak; warna putih
|
Bau khas tempe (++++)
|
3
|
R.oryzae
|
Kurang kompak; warna putih
|
Bau khas tempe (++)
|
4
|
Laru pasar (pembanding)
|
Kurang kompak; warna putih
|
Bau khas tempe (+++)
|
Keterangan :
++++ sangat disukai +++ disukai ++ agak
disukai + kurang disukai
Aroma tempe yang dihasilkan pada fermentasi tempe terbentuk
karena adanya aktivitas enzim dari kapang yang digunakan. Enzim ini akan
memecah protein dan lemak kedelai membentuk aroma yang khas. Komponen yang
dihasilkan memiliki ukuran dan berat molekul yang lebih kecil dari bahan
awalnya sehingga komponen lebih mudah menguap (volatil) dan tercium sebagai bau
tempe. Aroma yang muncul tergantung oleh jenis komponen yang dihasilkan selama proses
fermentasi. Selain itu, juga sangat dipengaruhi oleh jenis kultur
starter dan jenis kedelai yang digunakan. Aroma kapang yang biasa tercium dari
tempe yang normal dihasilkan oleh komponen 3-octanone dan 1-octen-3-ol (Feng et
al., 2006). Munculnya bau menyengat amonia yang terkadang muncul pada tempe
diduga disebabkan oleh adanya kontaminasi mikroorganisme yang tidak dikehendaki
pada kultur starter yang digunakan. Pada kegiatan ini, tempe yang dihasilkan
kultur starter Mucor sp. memiliki aroma yang paling baik dibandingkan
dengan tempe yang dihasilkan dari kultur starter lain. Pengujian tempe secara
organoleptik, dengan cara dikonsumsi, menunjukkan bahwa tempe yang dibuat dari
kultur starter Mucor sp. menghasilkan rasa khas tempe yang paling
disukai. Hal ini diduga disebabkan oleh miselium Mucor sp. yang pendek
sehingga pertumbuhan Mucor sp. lebih lambat dibandingkan dengan kultur
starter lain. Dengan demikian, kultur Mucor sp. memiliki waktu yang
lebih banyak untuk membentuk komponen rasa dan aroma tempe lebih sempurna
dibandingkan dengan kultur starter lain. Rasa asam pada tempe disebabkan oleh
tercemarnya kultur starter yang digunakan. Hal ini sering dijumpai pada tempe
yang dibuat dengan kultur starter laru pasar, mengingat kultur ini ditumbuhkan
di media onggok yaitu ampas dari proses pembuatan minyak kelapa sehingga kultur
starter tercemar oleh onggok. Profil komponen penyusun aroma tempe disajikan dalam
Gambar 1.
Gambar
1. Profil komponen volatil yang dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus
pada proses fermentasi kedelai
Sumber: Feng et al. 2006
Warna
yang dibentuk oleh miselium kapang dipengaruhi oleh
jenis kultur yang digunakan. Pada umumnya
warna miselium tempe
yang dihasilkan kultur pada pengamatan bisa diterima secara sensori oleh panelis. Tempe yang ideal
adalah tempe yang kompak, warna miseliumnya
normal yaitu putih dan memiliki aroma normal tempe. Warna miselium yang tidak putih
menunjukkan adanya kontaminasi kultur oleh mikroorganisme lain. Berdasarkan
hasil pengamatan terhadap tempe
yang dihasilkan, semua kultur starter menghasilkan warna miselium yang sesuai
dengan harapan yaitu putih.
KESIMPULAN
Dari
keempat jenis kultur starter yang diuji diperoleh kesimpulan bahwa kultur
starter Mucor sp., Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, dan laru pasar
menghasilkan tempe dengan mutu organoleptik yang baik yaitu memiliki rasa dan
aroma khas tempe, struktur tempe dengan kekompakan yang dapat bagus/dapat
diterima, dan warna miselium putih. Kultur starter Mucor sp. merupakan
kultur starter yang menghasilkan rasa dan aroma yang paling disukai
dibandingkan dengan kultur starter R.oligosporus, R.oryzae, dan laru
pasar. Kultur starter R.oligosporus menghasilkan tempe
dengan struktur paling kompak dibandingkan dengan struktur tempe yang dihasilkan kultur starter lain.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Suliantari yang telah membimbing
penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan angkatan 43 yang telah membantu penulis
dalam memperoleh data hasil pertumbuhan kultur starter tempe.
DAFTAR PUSTAKA
Feng, Xin Mei, Thomas Ostenfeld Larsen, Johan Schnürer. 2006.
Production of volatile compounds by Rhizopus oligosporus during soybean
and barley tempeh fermentation. Journal of Food Microbiology, 113 :
133–141.
Hutkins, Robert
W. 2006. Microbiology and Technology
of Fermented Foods.
Blackwell
Publishing Ltd., Oxford.
pp : 436-443.